Tai Lalat
Ada
sidikjari, tapi jarang disebut tentang sidikwajah. Dan tailalat tak
lain dari bagian sidikmuka. Yang akan kuceritakan padamu bukan tailalat
tunggal, tapi kembar, simetrik mengapit batang hidung. Dan itulah
satu-satunya yang pernah kulihat dalam hidupku. Awal tahun 1946.
Sebagai pembantu-letnan aku mendapat perintah mengerahkan seksiku
menyambut kedatangan serombongan tamu. Di stasiun Cikampek. Hari,
tanggal, dan bulan, sudah tak dapat kuingat, setidak-tidaknya sekitar
jam 10 pagi.
Keretapi dari Jakarta masuk. Tak ada rombongan tamu yang turun
berbondong dari kereta api. Penumpang-penumpang lain turun dan segera
meninggalkan perron. Seorang-dua turun, berdiri tenang-tenang di
samping gerbong. Salah seorang kudekati. Nah, itulah, tailalat kembar
mengapit batang hidungnya, hidung pribumi asli.
“Dari Jakarta, Pak?”, ia hanya tersenyum manis. “Mau ke mana?”
“Yogya.”
“Dalam rombongan?”
“Tidak salah.”
“Tujuan?” ia awasi senjatapi pada pinggangku, mengangguk-angguk, kemudian menepuk-nepuk punggungku.
“Indah ya, sangat indah, usia muda, semua bisa menangani,” ia mengangguk-angguk ria,
“bagus, teruskan apa yang telah kami gagal melakukan. Dulu.”
“Apa yang telah gagal Bapak lakukan?”
“Berontak untuk merdeka. Dan kalian, anak-anak muda, sudah bikin tanahair ini merdeka. Tinggal mempertahankan dan mengisinya.”
Mendadak ia menyerang aku dengan pelukan dan ciuman. Keramahannya
lenyap. Kurasai airmata menetesi wajahku. Peluit kepala setasiun
mengatasi suara hiruk-pikuk setasiun.
“Kami dari rombongan Digulis, dari Australia. Selamat, nak, selamat, kita akan bertemu di tempat lain.”
Ia ciumi lagi aku. Menepuk bahuku, dan melompat naik ke dalam gerbong.
Kereta berangkat. Belum lagi sempat kuketahui namanya....
Kembali ke markas resimen kulaporkan, tugas telah selesai kulakukan.
Mayorku bangkit dari kursi, melotot, hanya tidak membentak:
“Goblok. Tugas segampang itu tidak mampu kau lakukan. Belajar kau menghargai para pejuang. Selesai!”
Setelah memberi hormat dan balik-kanan-jalan terdengar bentakan dalam
diriku sendiri: Goblok! Sebelumnya tak kau katakan, kan, siapa mereka?
Tempat tujuan juga bukan Cikampek, kan? Yogya! Ai, bapak tailalat
kembar.
Dua puluh tahun telah lewat. Sekarang bukan di medan bebas, apalagi
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sekarang di rutan, rumah
tahanan. Salemba di Jakarta.
Sekali di bulan November 1966 datang rombongan tahanan baru, pindahan
dari penjara Cipinang, Jakarta juga. Barang tujuh orang. Ha? Salah
seorang bertailalat kembar, mengapit batang hidung. Dia? Tak semudah
itu menjawab tekateki itu. Pribadi dan rombongan baru harus menjalani
kucilan. Sampai berapa hari atau minggu, itu tergantung para penguasa
penjara. Nyatanya ia dan rombongannya mendekam di blok E, blok hukuman
untuk tapol. Dari blok K, tempatku dikurung, setiap hari kulihat ia dan
rombongannya digiring keluar blok E ke ruang pemeriksaan. Bila balik
ke bloknya ada saja di antara mereka yang terpincang-pincang, atau
dipapah, atau dengan muka lebam, atau mencekam bagian-bagian tubuh yang
habis jadi landasan benda tumpul. Dan si tailalat kembar? Sekali waktu
terlihat ia kembali ke blok dengan menyeret kaki kanannya. Pemandangan
biasa.
Berapa umurnya? Dalam duapuluh tahun belakangan ini memang ada sejumlah
tulisan tentang Digul yang kubaca. Jadi kuperkirakan ia dibuang ke
Digul dan Australia selama 13 tahun, jadi 43 usianya. Ditambah dengan
20 tahun masa kemerdekaan nasional dan ketiadaan kemerdekaan pribadi
sekarang jadi 63 tahun. Patut kalau kekuatannya tidak seutuh tahun 1946
dulu.
Tetap tidak semudah itu menemuinya. Memang semua tapol berhimpun
sewaktu appel. Barisan-barisan yang disusun menurut blok masing-masing
membuat orang sulit dapat bertemu dengan orang dari blok lain. Setelah
appel selesai barisan kembali ke blok masing-masing.
Sebulan kemudian ia dipindahkan dari blok E ke blok L, bersebelahan
dengan blokku. Tiga hari kemudian masih juga tak dapat aku bicara
dengannya. Pada hari keempat ia meninggalkan blok L menuju ke ruang
pemeriksaan.
Sengaja aku tunggu ia pulang. Umur 63 tahun. Dan penganiayaan apa lagi harus ia deritakan?
Ha? Ia pulang ke blok tanpa cedera. Wajahnya ceria, dan, tersenyum
panjang, mata nyapu tanah. Sebelum memasuki blok ia tebarkan pandang ke
seluruh dan semua blok yang mengelilingi tanah lapang penjara.
Ha? Seorang petugas datang ke bloknya dan membawanya ke kantor pimpinan
penjara. Dan sejak itu ia tak pernah kelihatan lagi. Pindah ke penjara
lain? Mungkin dibebaskan karena usianya yang sudah lanjut.
Mungkin.... Nyatanya tidak. Seorang tapol blok L yang dipindahkan ke
blok K jadi saksi karena ia termasuk rombongan yang dipindahkan kemari
dari penjara Cipinang.
Si tailalat kembar punya pendapat: ia tak punya kepercayaan pada daya
administrasi tuan-tuan baru ini. Ia hendak menguji ketidakpercayaannya.
Setelah dipindahkan ke blok L, waktu selesai appel, ia minta pada
petugas supaya diinterogasi, karena, katanya, ia belum pernah diperiksa
selama ini. Itu sebabnya ia keluar dari bloknya, sendirian, ke ruang
permeriksaan. Di sana ia menggunakan nama lain, dan, mengaku
pekerjaannya mencari beling di sampahan. (Waktu itu belum dipergunakan
kata: pemulung). Ia lulus ujian: punya nama lain dan bebas.
Setelah itu tak ada kabar-beritanya. Seluruh dan semua tapol sibuk
dengan kelaparan masing-masing. Tanpa diduga ulah si tailalat
membangkitkan inspirasi pada tapol-tapol muda lain. Dengan diam-diam
tentu. Dan, tiga tapol muda suatu hari lolos melarikan diri. Seorang
di antaranya nampaknya anak Jakarta yang tak pernah keluar dari kotanya.
Ia kedapatan sedang nongkrong di pinggir jalan raya menjajakan durian
dalam dua keranjang bambu. Tertangkap, dan masuk lagi ke rutan Salemba.
Tentu saja setelah melewati penganiayaan. Beberapa lainnya yang
dipindahkan ke penjara di Tangerang, juga melarikan diri dan tak pernah
tertangkap.
Kemudian seorang lagi melarikan diri melalui gorong-gorong. Waktu
selnya diperiksa kedapatan beberapa lembar kertas bertuliskan tangan.
Karena soalnya tulisan aku yang dipanggil untuk menjalani pemeriksaan.
Tulis apa saja maunya, perintah petugas di kantor pimpinan rutan. Ia
berikan beberapa lembar kertas dan ballpoint. Aku menulis apa saja.
Tulisan tegak, perintahnya. Waktu ia datang lagi perintahnya berubah:
tulisan miring. Setelah itu: tulisan bebas. Dan akhirnya: cukup! Aku
boleh kembali ke blok. Tidak ada apa-apa lagi. Artinya: miring,
tegak, atau pun bebas, tulisan yang tertinggal di sel pelarian itu tak
ada kesamaannya dengan tulisan tanganku.
Juli 1969 tapol Salemba dipindahkan ke Nusa Kambangan. Sebulan kemudian
dikapalkan ke Buru. Dalam kapal para tapol dari seluruh penjara di
Jawa dapat bertemu dan berkenalan. Seorang dari Pacitan nampaknuya
berminat untuk berkenalan. Sidikwajahnya bukan tailalat. Hanya garis
lurus dari ujung atas telinga sampai dagu. Bekas sayatan senjata tajam.
Yang seperti itu bukan sesuatu untuk dibicarakan manusia tapol-nya
tuan-tuan baru. Setiap orang telah diberi ijasah bekas luka. Dalam masa
kerjapaksa di Buru ia menempati Unit I, aku III. Jadi hanya sekali-dua
kami dapat bertemu sampai 1978 atau 9 tahun kerjapaksa. Pada tahun itu
ia dibebaskan. Dan karena sidikwajahnya ia tidak memilih Pacitan
sebagai tempat tinggal, tapi Jakarta.
Tiga tahun setelah aku sendiri dibebaskan dari Buru pada 1979 akhir
tanpa kuduga aku bertemu dengan teman dari Pacitan itu. Sekitar hampir
jam 5 pagi. Jalan-jalan masih senyap. Yang lalu-lalang hanya sejumlah
pelari pagi, termasuk tubuhku. Seorang pemulung sedang duduk di bangku
beton menghadapi keranjang sampahnya. Ia tersenyum ramah waktu
kudekati. Dan kata-katanya yang mengiris jantungku terdengar.
“Maaf, untuk orang seperti aku ini tidak memerlukan lari pagi.”
Ia harus kerja maka pembicaraan panjang membuatnya gelisah. Dan
ternyata ia tinggal di ladang sampah Jalan Raya Pramuka. Sebuah kotak
triplek dan seng adalah rumahnya, ditinggalinya bersama seorang kakek,
juga pemulung. Hanya beberapa ratus meter dari halte bus tempat kami
bercengkerama.
“Kakek lebih siang berangkatnya. Jera digonggong dan disalaki anjing
dalam kesepian subuh. Tahu apa dia bilang tentang anjing Jakarta?
Kesadaran klasnya cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari tuannya, semua
para tuan.”
“Dia bekas tapol?”
“Ya, tapol Salemba, katanya. Lolos pada tahun kedua, katanya.”
“Hari libur sajalah,” kataku. Aku sodorkan uang penggantinya.
Ia nampak agak tenang. Memang tak kutunggu ucapan terima kasihnya yang memang tak pernah ia ucapkan.
“Ia juga dari Pacitan?”
“Bukan, Kebumen.”
“Siapa namanya?”
“Namanya tidak penting. Jangan dibikin dia jadi lebih sulit lagi.
Lebih dari tiga perempat hidupnya dia jadi sasaran penindasan.”
“Kalau tertindas lebih dari tiga perempat hidupnya artinya dia bekas Digulis.”
Ia pura-pura tidak dengar.
“Mari sarapan di rumahku.”
“Terimakasih banyak. Lebih baik jangan.”
“Atau kita ke rumahmu? Kan dekat saja?”
“Perjanjian antar kami, aku dan kakek: tidak menerima tamu siapa pun.”
“Mengerti, mengerti. Kalian memang perlu mencurigai siapa pun.”
“Jangankan orang-orang seperti kami. Pemuda-pemuda yang menyorong
kemungkinan Proklamasi saja, di mana mereka semua sekarang? Hanya satu
saja yang lolos, pernah jadi wakil presiden pula. Dan proklamatornya
sendiri, bagaimana pula nasibnya?”
Ia keluarkan uang pemberian dari saku, menghitungnya, dan separoh ia kembalikan.
“Silakan teruskan lari pagi.”
“Satu pertanyaan lagi: apa si kakek punya tailalat di kiri dan kanan batang hidungnya?”
Dalam keremangan subuh nampak ia melotot, suaranya parau: “Jadi bung
kenal dia? Maaf saja, lupakan pertemuan ini. Anggap tak pernah
terjadi.”
Ia bangkit dan pergi dengan keranjang sampah dari bambu tergantung di belakang punggung.
Tepat jam 10 pagi setelah membaca koran dan menyelesaikan kerja kliping,
aku bergegas setengah lari ke ladang sampah jalan raya Pramuka. Ada
beberapa kotak triplek dan seng. Satu di antaranya dalam keadaan
terbalik. Sikap teman Pacitan itu memberi petunjuk, kotak terbalik
itulah rumahnya bersama si kakek. Mereka memang tak mau ditemui dan
dikenal.
Dia tak ingin dikenal oleh siapa pun. Baiklah. Maafkan aku. Dan tidak
lebih dari sebulan kemudian lewat di depan rumahku seorang pemulung
muda, dengan keranjang bambu pada punggung dan besi beton pembalik
sampah pada tangan kanannya. Ia berjalan bimbang dengan pandangan
menyisiri pinggiran jalan tempat parade tong dan kotak sampah pemukiman.
Lain dari para pemulung lain ia berpakaian sobek-sobek dan dekil.
Buru-buru aku masuk rumah, mengambil keranjang tempat pakaian bekas dan
kuberikan padanya.
“Terimakasih,” ia membungkuk dan pergi membawa keranjang tsb. Sorehari
waktu aku membersihkan belakang rumah... ya ampun, keranjang beserta
pakaian bekas kami tergeletak di situ. Tak pernah dalam hidupku aku
menderita malu seperti ini. Malu: tak mengerti si pemulung tak
membutuhkan pakaian bekas. Pakaiannya yang dekil dan sobek-sobek
mungkin semacam seragam harian sebagai pemulung. Bukan karena tak punya
pakaian! Betapa aku tak tahu duduk perkara sekecil itu! Tak kuat
menanggung malu maka kuberitakan pengalaman ini pada seorang sahabat,
seorang professor emeritus di seberang lautan. Perasaan malu itu memang
mereda, namun tetap mengganggu bila teringat. Jadi, tahu apa kau
sebenarnya tentang rakyatmu? Dan semua ini hanya gara-gara teman
pemulung dari Pacitan itu.
Nyatanya cerita ini belum habis sampai di sini.
Seorang teman bersama temannya mengajak ke lapangan setir mobil.
Temannya adalah instruktur setir mobil. Seperti biasa bicaranya tak
terkendali, riuh, dengan tangan, kepala, bahkan kaki memberi tekanan
pada suaranya, dan semburan percikan ludahnya menggerimisi wajah
lawan-bicaranya.
“Ayohlah,” katanya, “kalahkan traumamu. Dia cuma mobil, tak perlu ada trauma menyopir.”
Memang pernah kuceritakan padanya, dalam bulan pertama pulang dari Buru
aku mendapat mobil Datsun. Kubawa seorang instruktur untuk membiasakan
menyopir. Maklum sudah puluhan tahun tak pernah pegang kemudi. Waktu
Jepang menyerah mobil bergeletakan sepanjang jalan. Siapa pun boleh
ambil untuk dirinya asal punya bensin. Seorang pesakitan Cipinang dalam
masa kosong kekuasaan membebaskan diri bersama yang lain-lain.
Nampaknya ia bekas kriminal berat, pindahan dari penjara Kutaraja, Aceh.
Sudah tak dapat kuingat namanya, juga tak kuingat bagaimana kami
berkenalan. Dialah, entah bagaimana, bisa mendapatkan bensin. Sebuah
Willys Cabriolet ia isi tangkinya. Mesinnya ternyata bagus. Mari,
Bung, katanya, belajar nyetir. Kami keliling kota. Beberapa hari
kemudian aku telah dapat mengendalikan kereta ajaib itu. Setelah ia
yakin aku bisa mengendarainya, wut!, ia hilang tak jelas rimbanya. Dan
tak pernah berjumpa lagi. Mobil itu sendiri kemudian juga hilang tak
jelas rimbanya waktu kuparkir di pinggir jalan di samping rumah,
salahnya bensin dalam tangkinya.
Ini hanya cerita bahwa memang ada pengalaman menyopir padaku. Nampaknya
pengalaman secuwil itu membikin aku terlalu percaya diri. Instruktur
di sampingku hampir-hampir tak kugubris. Datsun berputar entah berapa
puluh kali mengelilingi lapangan.
“Sekarang mundur,” perintahnya.
Waktu itulah kaki tak tahu diri. Yang seharusnya rem diinjaknya, justru
gas yang kena. Dalam keadaan mundur kencang pantat mobil menubruk
warung dan mesin mati. Wanita penjaga warung yang duduk di bangku kayu,
pucat, tak bisa bicara. Seorang polisi lalulintas, yang mengawasi
lapangan, lari mendapatkan kami. Dalam keadaan terguncang aku keluar
dari mobil. Juga sang instruktur.
Dengan wajah keras ia perintahkan aku memperlihatkan surat-surat
kendaraan, dan tentu saja KTP. Matanya melompat-lompat dari
kertas-kertas di tangannya pada wajahku. Kemudian, kemudian sekali, mata
itu ditujukan pada kakiku.
O, bapak, katanya. Lama sudah kukenal, baru sekali bertemu orangnya.
Ia angkat tangan kanannya memberi hormat. Dan sesuai engan tradisi
militer Jepang aku membungkuk membalas. Begini saja, ya pak, ganti saja
kerugiannya.
Pemilik (atau penjaga) warung itu masih duduk kaku. Maaf, bu, mari kami
bawa ke rumahsakit. Ia menggeleng. Seorang lelaki datang dan
menengahi. Biar aku sendiri antarkan dia ke dokter. Barangkali
suaminya.
Aku berikan kartu namaku. Ganti rugi dan ongkos dokter harap diambil pada alamat ini, kataku. Cukup, pak polisi? Kataku.
Ia mengangguk. Aku salami lelaki itu dan minta maaf. Ia mengangguk.
Juga kuularkan tangan pada wanita itu. Kurasai tangannya menggigil.
Trauma nyopir itu begitu mendalamnya sehingga dalam mobil teman dan
temannya aku masih tetap waswas, kalah terhadap perasaan sendiri. Tak
mampu melihat kembali wanita penjaga warung yang seperti patung batu
karena kagetnya. Sebelum mobil memasuki gerbang lapangan latihan nyopir
mobil melewati seorang pemulung. Benar, dia teman dari Pacitan dengan
sidikwajahnya yang abadi. Keranjang bambu tidak lagi pada punggungnya.
Ia berjalan santai menghela gerobak. Di atas tumpukan sampah, tua tanpa
daya, kakek dengan tailalat kembarnya.
“Stop!” kupinta pada teman. “Turun sini. Nanti aku pulang sendiri.”
“Masih juga groggy? Trauma tak kunjung habis?”
Tanpa menjawab aku turun, berhenti di pinggir jalan menunggu sejoli ex tapol itu lewat. Dan matahari sudah mulai terasa terik.
“Ai-ai,” tegurku.
Ia berhenti. Tangan tetap memegangi boom gerobak. Dan ia tersenyum.
Kakek di atas sampah dalam terobak asyik membaca koran. Bukan tekateki
dari mana ia dapatkan kacamata. Sampah memberikan segala-galanya.
“Sudah makan?”
“Nanti sudah.” Nampaknya ia lebih ramah daripada dalam pertemuan di
halte bus dulu. Lima kilometer dari tempat ini. Waktu hendak menegur si
kakek ia melarang. “Sama sekali tak ada gunanya. Tuli sepenuh tuli.”
Ia pinggirkan gerobaknya dan dengan sangat hati-hati menyandarkan boom
gerobaknya di atas bibir jambang bung dari beton.
Kakek sama sekali tak memperhatikan kami.
“Lalu apa yang dibacanya?”
“Semua, kecuali iklan penawaran. Yang terpenting baginya iklan jenis lain. Bukan iklan penawaran. Iklan kematian.”
“Ha?”
“Jangan ganggu dia. Lihat saja. Ya, ia sedang membaca iklan kesukaannya. Perhatikan airmukanya.”
Memang kuperhatikan. Ternyata selain berkacamata ia juga menggunakan
kaca pembesar di tangan kiri. Jelas pipinya yang sudah kempot itu
sedang tersenyum.
“Tersenyum, kan? Itu tanda yang meninggal jauh lebih muda dari dirinya.
Kalau dengan geleng-geleng kepala itu tanda yang mati berumur di bawah
tiga puluh. Bila ia tercenung tanpa gerak wajah yang mati berumur
sekitar seratus tahun.”
“Luar biasa. Betapa kau kenali dia.”
“Sehari-harian aku bersama dia. Berak pun aku yang mengurus.”
Sekarang aku yang tercenung. Mataku berkaca-kaca. Betapa tinggi
setiakawan anak Pacitan ini. Suaraku tersekat di tenggorokan waktu aku
mencoba bertanya berapa umurnya.
“Dua-tiga tahun lagi dia akan melewati seratus. Seperti itu, dan masih
tetap jadi landasan penindasan. Hanya agar beberapa sang gelintir bisa
hidup kaya, terlalu kaya, mewah dan berkuasa.”
“Stt!”
“Ya, begini kami. Bung memang bukan bagian dari kami.” Ia angkat boom
gerobaknya dan meneruskan perjalanannya. Ia tak mengharapkan percakapan
berlanjut. Dan ia berjalan terus tanpa menoleh. Kakek dari Kebumen
masih tetap membaca koran bekas. Mereka hilang di tikungan. Tak ada
guna mengikuti. Teman Pacitan itu tak ingin diketahui tempat
tinggalnya.
Cerita ini mestinya selesai sampai di sini. Nyatanya cerita ini belum mampu mengakhiri dirinya sendiri.
Waktu menggelinding begitu cepatnya. Indonesia, katanya, telah setengah
abad merdeka. Memang bukan kemerdekaan bagi orang-orang seperti kami,
karena kami hanya batu-batu kerikil buat fondasi kemerdekaan. Tempat
kami tetap dalam fondasi. Kemerdekaan itu sendiri tumbuh dan berkembang
tanpa pernah mengidahkan fondasinya sendiri.
Limapuluh tahun merdeka pun telah lewat beberapa bulan. Waktu itulah
pandangku nanar menggerayangi wajah teman Pacitan, menelusuri bekas
sodetan senjata tajam dari telinga sampai dagunya. Memang dia.
Seongggok tubuh yang duduk menggelesot di atas lantai stasiun Kota. Ia
tak mengenakan seragam pemulung yang sobek-sobek dan dekil. Bahkan
rambutnya pun kelimis bersisir. Di atas lantai stasiun memang ada
tong-tong sampah, tapi keranjang bambu dan gerobak sampah tidak ada.
Lantai kelihatan bersih. Juga tak ada di halaman stasiun. Jadi apa
sekarang kerjanya?
Ia tak menyadari sedang aku perhatikan. Kuikuti pandangannya yang
berpindah-pindah. Ternyata ia sedang memperhatikan beberapa bocah sedang
bekerja menyikat sepatu para calon penumpang keretapi. Kemudian aku
duduk di dekatnya di atas lantai. Ia menengok padaku dengan pandang
curiga. Kaki dan tangannya disiapkannya untuk bertarung. Tiba-tiba:
“Oh, bung!”
“Mana gerobaknya?”
“Biasa. Dirampas.”
“Dirampas siapa?”
“Siapa lagi?” Dan aku mengangguk mengerti. “Hanya gerobak, kan?
Barang sepuluh tahun lalu kusaksikan becak dirampasi. Jerih payah
bertahun orang menyisakan rejekinya untuk dapat memilikinya. Jadi
rumpon di teluk Jakarta. Tanpa ganti rugi. Eh, buat apa kuungkit?
Semua orang tahu.” Aku mengangguk.
Kutebarkan pandang ke luar stasiun. Memang dia tidak menggerutut, namun
nada suaranya begitu menyakitinya. Kalimat apa yang selanjutnya
diucapkannya aku tak dengar. Pandangku membawaku ke masa empatpuluh
delapan tahun yang lalu. Sebagai tapolnya Belanda kami membabati
alang-alang sekitar stasiun ini sampai ke pelabuhan Tanjungpriok. Ke
selatan sampai ke lapangan Gambir. Dan istana kolonial di Gambir itu
sekarang dinamai Istana Merdeka. Waktu pandangku tertebar ke ruang
dalam stasiun dengan sendirinya tergambar kembali secercah hidup
tigapuluh lima tahun lalu. Dengan beberapa teman kami hendak menghadiri
Konferensi Sastra Jawa di Solo. Sedang santai berdiri menunggu
keretapi masuk mulutku, mulutku ini, memekik: copet! Seseorang lari
sambil menarik belati, kemudian menghilang entah ke mana. Teman yang
juga akan menghadiri konferensi itu menghentikan teriakanku sambil
memberikan arjoliku.
“Jadi kau masih sempat memikirkan orang-orang seperti kami?” Ia menegur.
“Mana kakekmu?”
“Kakek? Ia sudah tak membaca koran lagi. Juga tak naik gerobak lagi.
Tak akan lagi. Sejak dua bulan lalu. Mati, bung, waktu gubuk-gubuk kami
diobrak-obrak buat diubah jadi gedung pencakar langit. Dalam suasana
tergusur kami, rumpun pemulung mengantarkannya ke lahatnya. Tak perlu
sentimen-sentimenanlah. Orang-orang seperti kita yang paling banyak
membiayai pembangunannya para hartawan dan kuasawan.”
“Ya, biarpun nama tidak pernah masuk buku mereka.”
“Primitif. Semakin lama semakin primitif. Primitif! Itu umpatan kakek
bila menilai keadaan. Pembangunan? Jalan-jalan hanya untuk yang
bermobil. Pejalan kaki pun tak berhak menggunakannya. Di tanahair
sendiri. Tanpa kaki lima. Primitif, itu umpatannya. Immoral, immoral.
Dia tak butuhkan tanggapan orang lain. Usia telah merampas
pendengarannya. Primitif! Immoral! Dan setiap matanya menangkap
jambang-jambang beton di kakilima, apa dengusnya? Jambang di
kakilima... tambahan isi kantong mereka, dari kantong semua, demi untuk
menghadang kita... sepertinya dia sedang berpantun. Kalau cuma begitu
saja, dengusnya sepanjang jalan, puih, gampang amat jadi immoral,
semakin lama semakin primitif!”
Panjangnya omongannya kali ini membuat perhatianku pada kakek tailalat justru jadi padam.
“Jadi, apa kegiatan bung sekarang?”
“Lihat anak-anak penyikat dan penyemir sepatu itu?” kembali matanya
gentayangan pada mereka. “Masih di jalur lama, bung, membina mereka.
Mengajari mereka baca-tulis. Yang lebih penting: melindungi mereka
dari ulah mafia, bocah-bocah berandalan, bocah-bocah jalanan juga, yang
memeras mereka.”
“Mereka takut pada bung?”
“Tanda ini,” ia mengusap bekas senjata tajam pada wajahnya, “membuat
mereka takut. Tanda ini mereka anggap sebagai ijasah keganasanku. Mudah
bagi bung memahami dunia primitif begini, kan? Akhirnya aku ketularan
kakek juga: primitif! Primitif!”
“Nampaknya sekarang bung lebih ramah padaku.”
“Setidak-tidaknya kakek tidak lebih terluka karena mulutku.”
“Dia tak pernah tanya tentang buangan di Buru?”
“Ya, waktu masih bisa dengar sedikit-sedikit. Juga kuceritakan di Buru
juga ada bekas Digulis, tapol tertua, dengan hanya satu harapan: mati
dan dikuburkan di Jawa. Dia termasuk rombongan pertama yang dibebaskan.
Harapannya hanya separoh terpenuhi: dikuburkan di Jawa memang, tapi
mati waktu kapal belum lagi merapat di Tanjungperak.”
Di antara lalulalang pasang-pasang kaki, lelaki dan perempuan, suling
kereta dan hiruk-pikuk pekerja pengangkut barang, muncul seorang bocah.
Tanpa bicara ia sodorkan dua teh botol dingin pada kami.
Teman dari Pacitan itu menghapus matanya. Dan:
“Tanpa didikan orangtua — memang dia tak punya — tanpa disuruh, sebagian rejeki pagi ia suguhkan pada kita.”
“Nampaknya bung memang dicintai mereka,” dan nampaknya ia terharu atas
pujian itu. “Memang cuma teh botol, setidak-tidaknya bung telah mulai
menuai yang bung tebarkan.” Ia masih terdiam. “Jangan membisu terlalu
lama. Kata-katamu tentang kakek penting bagiku. Memang cuma kata-kata,
kita hanya bisa ngomong, lebih tidak. Tapi kata-kata, dengan
kekuatannya yang khusus, akan mengembara dari kuping ke kuping, dan akan
hidup selama-lamanya, selama ummat manusia tidak menjadi tuli semuanya.
Dan biar pun tuli mendadak semua, kan masih ada pemahat, pematung,
pelukis, dan pengarang, yang tanpa berucap bisa mengatakan?”
“Kursus bung terlalu bertele.”
“Pembisuan bung terlalu bertele.”
Ia nikmati teh botolnya dengan pipa penyedot. Dan botolku sudah kosong.
“Waktu ia cukup mengerti, di Buru kita dikenakan kerjapaksa sambil cari
makan sendiri, kalau sakit obat-obatan pun harus beli sendiri kontan
menyembur sumpah-serapahnya: primitif! primitif. Hanya otak primitif
mampu buat aturan seperti itu.”
Pustaka tentang Digul membuat kepalaku terangguk-angguk. Ya, para
Digulis dijamin makannya setiap bulan. Yang sakit mendapat perawatan
lebih baik daripada di Jawa. Dan asal mereka mau bekerja di ladang,
mereka dapat sepuluh sen setiap jam, setara tiga kilogram beras. Yang
bersedia kerja dalam mesin kolonial lebih banyak lagi dapatnya.
“Dan tanpa pengadilan,” ia teruskan semburan kata kakek tailalat,
“belasan tahun tanpa pengadilan. Semasa kolonial, 3 hari ditahan tanpa
perkara jelas sudah bisa menuntut ganti rugi. Dibunuhi pula, malah
tanpa ada komisi penyelidikan. Otak primitif. Diharuskan hafal
Pancasila lagi. Di Digul, aparat kolonial itu menghormati pendirian dan
sikap politik dan pribadi para buangan. Primitif! Primitif!”
“Stop. Setidaknya aku sudah mulai banyak tahu tentang kakek yang tak pernah mengenalku.”
Ia habiskan teh botol di tangannya. Dan bocah penyikat sepatu itu datang lagi mengambil botol-botol kosong.
“Boleh aku menengok kuburan kakek?”
“Tak usahlah. Seratus tahun, satu abad jadi landasan penindasan. Jangan, jangan ganggu dia. Kau takkan tahu tempatnya.”
Tiba-tiba ia melompat bangun, berjalan cepat menuju ke suatu pilar
stasiun. Dari gerak tangannya nampak ia sedang mengusir seorang pemuda
berkuncir berseragam jean. Dan pemuda yang diusirnya tidak langsung
pergi. Dari gerak tangannya nampak ia mengancam. Teman dari Pacitan itu
mengangguk menerima tantangannya. Setelah lawan-bicaranya pergi baru
ia kembali menghampiri.
“Bung sendirian. Bagaimana kalau dia membawa teman-temannya?”
“Mereka dibuat primitif oleh keadaan. Kalau toh kalah dan mati,
setidak-tidaknya terhormat sebagai warganegara Indonesia.” Ia ulurkan
tangannya memberi salam dan pergi.
sumber KLIK DISINI
0 comments :
Setia Di Garis Massa
Contact Form
TERHANGAT
-
Demi menyajikan konten yang bermanfaat aku sangat membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian. Aku lagi belajar tentang WebB...
-
ILALANG WEBLOG , Hong Kong - Menata gambar dalam sebuah posting memang merupakan kebutuhan vital yang harus tertangani dengan baik oleh ...
-
Post a Comment
Mari Kita berdiskusi, apa pendapatmu. Ditunggu komentarnya kawan