BMI dan Forum Terbuka Sebelum Aksi Tolak WTO


Aksi menolak WTO di Hongkong
Aksi Junk WTO
ILALANG, Hong Kong - Minggu 1 Desember 2013, ratusan Buruh Migran Indonesia di bawah payung Jaringan BMI cabut UU39/2004 (JBMI) mengadakan aksi Menolak pertemuan WTO yang akan diselenggarakan di Bali, Indonesia dari tanggal 2-6 Desember tahun ini.

Aksi dibuka dengan penyuluhan permasalahan-permasalahan BMI. Di antaranya adalah penyuluhan bagaimana BMI menyikapi permasalahan Pemutusan hubungan kerja, yang semakin hari semakin diperketat aturannya. Kemudian juga permasalahan BMI menghadapi Kebijakan KTKLN yang sampai saat ini belum dihapuskan dan masih menjadi momok menakutkan bagi BMI.

Permasalahan yang lainnya adalah tentang bagaimana BMI selama ini menjadi korban peraturan kebijakan system online dari KJRI yang dari aturan tersebut mengakibatkan banyak BMI tidak bisa pindah agen dan terjebak pada kondisi overcharging oleh agency karena biaya agen yang menjadi berlipat ketika BMI diputus hubungan kerjanya (termination).

“Kami mengangkat ketiga permasalahan di atas karena BMI merasakan dampak peraturan pemerintah itu secara langsung, BMI menjadi target pemerasan melalui aturan-aturan di atas, dan pemerintah dengan sengaja melegalkan perampasan itu melalui aturan di atas,” jelas Umi dari GAMMI (Gabungan Migran Muslim Indonesia), salah satu dari narasumber penyuluhan.

“Banyaknya kasus termination (pemutusan hubungan kerja) baik dari majikan maupun dari pekerja, menunjukkan kondisi yang semakin buruk. Entah itu karena faktor ekonomi dari majikan maupun kondisi kerja yang buruk di rumah majikan, sehingga mengakibatkan banyak BMI maupun majikan yang memilih untuk memutus hubungan kerja. Sayang sekali kondisi ini semakin diperparah dengan adanya peraturan baru dari imigrasi Hong Kong yang mempersulit kontrak kerja bagi buruh migran yang di-terminate maupun terminate sebanyak tiga kali dalam kurun waktu dua tahun. mereka akan segera menyuruh buruh migran untuk segera pulang ke negara asal,” tambah Fendy dari PILAR (Persatuan BMI Tolak Overcharging) setelah memberikan penyuluhan bagaimana menyikapi PHK di Hong Kong.

Permasalahan yang sama tentang perampasan upah kerja BMI juga disampaikan oleh Astrid dari IMWU (Indonesian Migrant Workers Union) mengenai KTKLN. “Kami melihat permasalahan KTKLN ini adalah hanya upaya pemerintah untuk menarik dana dari Buruh Migran melalui asuransi wajib dan biaya kesehatan. KTKLN sama sekali tidak dibutuhkan oleh BMI karena tidak menjamin BMI aman dari kekerasan maupun pelecehan yang mungkin sekali terjadi di rumah majikan. KTKLN juga tidak bisa menurunkan biaya agen yang selama ini menjadi penyebab BMI terjebak pada perbudakan hutang, dan tidak menjamin BMI menyelesaikan kontrak, apa lagi melindungi! Yang kami butuhkan adalah perlindungan langsung dari pemerintah melalui kebijakan yang berpihak kepada BMI, bukan perlindungan yang dititipkan kepada asuransi dan agency karena orientasi mereka hanya pada Uang!" jelasnya.

“Yah, dilihat dari tiga kasus di atas. Buruh migran adalah salah satu korban nyata dari dampak pasar bebas neoliberal yang dimotori oleh Amerika dengan kendaraan WTO. Mayoritas buruh migran adalah dari keluarga petani yang kehilangan kesempatan bekerja di negeri sendiri dan dijadikan sebagai buruh murah di negara penempatan tujuan BMI. Hal ini senada dengan agenda WTO yang mengatur tentang migrasi tenaga kerja, yaitu ada dalam GATS mode 4 tentang Movement of Natural Persons (Pergerakan Manusia secara Alami ),” jelas Muthi dari LIPMI (Liga Pekerja Migran Indonesia).

Dalam agenda tersebut migrasi akan dibuat terpaksa melalui pertukaran tenaga kerja yang membuat buruh disetarakan komoditi tanpa perlindungan yang jelas. Agenda di atas sudah mulai dirasakan buruknya oleh buruh migran dengan dipersempitnya ruang gerak mereka. Misalnya di beberapa negara penerima, buruh migran dilarang berorganisasi, serta hak dan upah buruh migran dipangkas. Seperti yang terjadi di Hong Kong adalah kasus kebijakan Imigrasi Hong Kong yang mempersulit buruh migran memproses kontrak setelah tiga kali termination dalam dua tahun, dan dipersempitnya izin tinggal setelah habis kontrak maupun termination. Sementara pemerintah semakin gencar mengirim rakyatnya sebagai budak di negara penerima buruh migran untuk menopang ekonomi negara yang sudah di korup oleh rejim penguasa!

Aksi penolakan WTO oleh JBMI ini diselenggarakan oleh: IMA (International Migrant Alliance) ILPS (International Liga Peoples Struggle) IPA-HK (Indonesian People Alliance) dan AMCB (Asian Migrant Coordinating Body)

Program diselingi dengan tampilan kesenian rakyat dan kesenian progresif dari buruh migran sebelum aksi dilanjutkan ke KJRI.
Artikel ini di muat di militan

0 comments :

Post a Comment

Mari Kita berdiskusi, apa pendapatmu. Ditunggu komentarnya kawan

Cancel Reply

Setia Di Garis Massa